Sejarah bangka
Ada sebagian Orang yang tidak suka dengan masa lalunya, tapi orang Tua selalu berkata jangan lupakan masa lalumu , jangan lupakan sejarah mu. Kalau Suram jangan minta Her apalagi minta siaran ulangan cukup kasih tanda kalau kamu sudah pernah lewat dan main disana, Karena masalalu tidak bisa kita hapus dengan tip- ex bro, Namun jika masa lalumu indah dan baik ….pertahankan dan buat lah lebih baik lagi. Tapi kali ini kita berbicara tentang lingkup yang lebih luas yaitu masalalu dan Sejarah Pulau Bangka. Saya sendiripun kurang begitu tahu bukannya saya tidak suka pelajaran sejarah namun saya berat untuk menolak undangan teman teman untuk merokok dibelakang sekolah, pada saat jam pelajaran dimulai .Sedikit cerita tapi cukup untuk bikin Linot mata.
Asal-usul nama Bangka
Dalam berbagai publikasi dipertengahan abad 20, pulau ini ditulis dengan ejaan “Banka”.[4] Kemudian, seorang ahli tambang senior Cornelis de Groot mengusulkan untuk menulis nama dengan ejaan “Bangka”.[4] Berikut adalah penamaan pulau bangka:
Mo-Ho-Hsin
Asal-muasal nama Bangka oleh I-Tsing disebut Mo-Ho-Hsin, lokasinya di Kota Kapur, tetangga Sriwijaya.[4] Kota Kapur berada di pantai Selat Bangka, berhadapan dengan delta sungai Musi.[4] Moho berasal dari kata Sansekerta yaitu moha yang berarti “bingung” atau “linglung”.[4] Berdasarkan pengertian itu Nia Kurnia (1983) menghubungkan kata bangka dengan istilah tua bangka yang berarti orang yang sudah tua dan linglung.[4]
Vanka, Wangka
Pulau Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti “timah” dalam bahasa Sanksekerta,[4] karena wilayah ini memang kaya barang tambang timah.[5] Nama “Wangka” muncul pertama kali bersama dengan nama “Swarnabhumi” dalam buku sastra India Milindrapantha yang ditulis abad ke 1 SM.[4] Swarnabhumi diidentifikasikan sebagai pulau Sumatra, maka kuat dugaan bahwa yang disebut “Wangka” adalah pulau Bangka.[4][6] Loius-Charles Damais, dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara, mempertegas bahwa Bangka berasal dari kata wangka (vanca).[7]
Bangkai
Pulau Bangka dalam sejarah Dinasti Ming (1368-1643) disebut Ma-Yi-dong atau Ma-yi-Tung.[4] Ma-yi-dong konon terletak disebelah barat Pulau Gao-lan atau pulau Belitung.[4] Istilah ma-yin-dong merupakan julukan para pedagang Arab untuk pulau Bangka.[4] Kata itu berasal dari kata mayit, bahasa halus dari kata bangkai.[4] Menurut pendapat umum, “bangkai” yang dimaksud adalah bangkai kapal yang banyak kandas atau pecah karena karang yang memenuhi bagian timur pulau ini.[4]
Wangkang
Pendapat lain mengatakan nama pulau Bangka berasal dari kata waka atau wangkang yang berarti jung kapal Cina, yang banyak pecah dan tengelam disekitar pulau bangka.[4]
Prasejarah
Bangka pada masa Pleitosen
Pleistosen adalah masa antara 1.808.000 hingga 11.600 tahun yang lalu.[4] Disebut juga zaman es ketika temperatur global 15 °C lebih dingin dari masa sekarang (zaman kauter).[4] saat itu Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan tergabung menjadi satu dengan Asia daratan.[4] Dizaman Pleistosen terjadi dua peristiwa geologi penting yaitu zaman glasial (ditandai meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi) dan zaman interglasial (zaman es kembali mencair).[4] Penjelasan geologi tersebut diperjelas dengan hasil pemetaan goemorfologi oleh Obdey pada tahun 1954.[4] Ia menyimpulkan bahwa pada zaman Sriwijaya, Bangka dan Belitung masih tersambung dengan Kepulauan Lingga, Riau, dan Semenanjung Malaya.[4] Penemuan geraham gajah Elephas Sumatranus oleh F. Martin dilapisan endapan timah di Bangka pada tahun 1804 memperkuat pendapat bahwa Bangka masih menjadi satu dengan pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan daratan Asia pada masa Pleistosen.[4] Seiring waktu, daratan ini pecah menjadi pulau-pulau kecil dan selat-selat sempit yang dangkal.[4]
Bangka pada awal sejarah
Prasasti Kota Kapur
Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia.[8] Hingga saat ini, satu satunya tempat yang mempunyai bukti tertulis tertua di Pulau Bangka dan bertarikh bahwa di Bangka telah ada hunian adalah Prasasti Kota Kapur.[8] Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.[8] Prasasti kota kapur di tulis menggunakan huruf pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.[9] Prasasti-prasasti kota kapur ini menunjukan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas pulau Bangka kala itu, diperkirakan antara abad ke-6 Masehi dan abad ke-7 Masehi.[9] Prasasti itu dibuat masa pemerintahan Dapunta Hyang, penguasa kerajaan Sriwijaya.[9] Artifak ini ditemukan oleh seseorang dari Belanda bernama J.K. Van Der Meulen di tahun 1892 di daerah kabupaten Bangka, kecamatan Mendo Barat.[9] Kemudian artifak-artifak tersebut dianalisa oleh H. Kern, seorang ahli Epigrafi, dimana ia menganggap bahwa sriwijaya adalah nama seorang raja, karena sri mengindikasikan seorang “raja”. Hingga akhirnya George Cœdès (1886-1969), seorang sejarahwan dan arkeolog Perancis menyatakan bahwa Sriwijaya adalah sebuah Kerajaan.[9] Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.[9] Isinya berupa low enforcement bagi orang-orang pulau Bangka, yakni semua orang yang melawan atau memberontak terhadap Sriwijaya akan dihukum dan dikutuk.[9] Di dalam salah satu prasasti tersebut tertulis “VANKA” dalam huruf pallawa, yang diartikan “TIMAH”.[9] Secara geografis daerah Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra.[8] Disekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai.[8] Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit.[8] Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter diatas permukaan laut.[8] Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.[8]
Arca Wisnu
Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat buah arca Wisnu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah.[8] Arca Wisnu ditemukan dalam beberapa ukuran panjang; 19,5 cm, 33 cm, dan 108 cm.[4] Salah satu patung terbuat dari batu andesit dan yang lainnya dari batu granit.[4] Penutup kepalanya (kuluk) mempunyai corak khusus berupa silinder.[4] Untuk menentukan pertanggalan arca tersebut dapat dilihat dari bentuk mahkotanya.[8] Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wisnu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor.[4][8] Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan karena tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang ber-angka tahun 686 Masehi.[10] Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wisnu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke 6-7 Masehi.[10]
Lingga
Selain arca Wisnu, ditemukan juga sebuah lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm.[8] Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah).[8] Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke 5-6 Masehi.[4][8] Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.[8]
Prasasti Camundi
Jauh setelah Śrīwijaya, pulau Bangka dan Belitung masih diperhitugkan kerajaan lain.[8] Dalam sejarah kuno Indonesia, daerah Bangka, Belitung, sampai Kerajaan Malayu didaerah Batanghari sejak tahun 1380-an termasuk wilayah Kerajaan Singasari.[8] Informasi tentang itu, secara tersirat telah disebut dalam Prasasti Camundi yang dikeluarkan oleh Kĕrtanāgara, Raja dari Singasari.[8]
Data arkeologis yang ditemukan disitus Kota Kapur, dapat memberikan interpretasi bahwa pada sekitar abad ke 5-6 Masehi di Kota Kapur terdapat sebuah kompleks bangunan suci bagi masyarakat penganut ajaran Hindu aliran Waisnawa.[8] Kompleks bangunan tersebut dikelilingi oleh tembok tanah yang panjangnya sekitar 2,5 km dengan ukuran lebar/tebal dan tinggi sekitar 4 meter.[8] Tampaknya di beberapa tempat di lingkungan tembok tanah tersebut terdapat hunian kelompok masyarakat pendukung bangunan suci tersebut yang buktinya berupa pecahan keramik dan tembikar.[8]
Bangka dibawah Majapahit
Kehadiran Majapahit di Bangka memberi arti penting dalam sejarah Bangka.[4] Sistem Kepatihan (pemerintahan) yang teratur mulai diterapkan dan tapal batas kekuasaan ditetapkan.[4] Majapahit mengirim ekspedisi ke Bangka dua kali, yang pertama dipimpin oleh Gajah Mada dan yang kedua dipimpin Tumenggung Dinata.[4] Namun tidak ada yang dapat memastikan tarikh kedua-duanya dan nama raja Majapahit yang memerintah pengiriman.[4] Akan tetapi, kahadiran Majapahit ke Bangka dapat diketahui melalui Tulisan Haji Idris 1861 berikut:[4]
Orang pertama yang mengenal Bangka adalah seorang pedagang Arab bernama nahkoda Sulaiman.[4] Kapalnya singgah di pantai kaki gunung Menumbing.[4] Sulaiman melafaskannya menumbing yang dalam bahasa Arab berarti “tempat berulang datang”.[4]
Setelah kembali ke Pulau Jawa (dari pulau Bangka) Sulaiman menghadap penguasa Majapahit, mengabarkan perihal pulau Bangka dan masyarakatnya.[4] Tertarik dengan laporan sulaiman, raja Majapahit mengirim ekspedisi ke pulau Bangka dipimpin oleh patih Gajah Mada.[4] Sulaiman ikut mendamping kembali ke Bangka.[4] Rombongan ini mendarat didaerah kaki gunung Menumbing.[4] Untuk mengetahui situasi dan kondisi Gajah Mada menuju puncak gunung Menumbing.[4] Dari ketinggian Gajah Mada melihat adanya lapangan terbuka dari kejauhan, menandakan daerah pemukiman.[4] Dilapangan terbuka terlihat sebuah tunggul sisa pohon besar yang ditebang, yang disebut punggur oleh masyarakat setempat.[4] Tempat pemukiman tersebut kemudian dinamakan desa punggur.[4] Seseorang kemudian diangkat untuk memimpin masyarakat disana.[4]
Di samping mengangkat kepala desa, Gajah Mada juga menetapkan batas, menetapkan tata-cara pemerintahan, meninggalkan piagam daun lontar dan sepotong tembaga berbahasa Arab dan bertulis huruf Jawa sebagai simbol pengukuhan.[4] Setelah perjalanan singkat itu rombongan Gajah Mada kembali ke Jawa.[4]
Bertahun-tahun sudah ditinggal rombongan Majapahit, masyarakat Bangka berkembang lebih maju dengan mengikuti tatanan kemasyarakatan yang sudah diajarkan.[4] Tempat, gunung dan sungai sudah bernama, diambil dari nama manusia, binatang, ikan, pohon, serta warna.[4] Pulau Bangka ditinggalkan terbengkalai oleh Majapahit.[4] Tidak pernah ada utusan Majapahit yang datang dalam masa yang panjang.[4] Akhirnya Majapahit mengutuskan pangeran Tumenggung Dinata untuk meninjau kembali.[4] Rombongan pengeran datang melalui sungai Bantilan dan meneruskan jalan darat sampai kampung Mendo (Menduk) dan kampung Jeruk.[4] Di Mendo, dipilih seorang menjadi kepala kampung, dan diberi gelar Patih Tali.[4] Dikampung Jeruk diangkat kepala kampung dengan gelar Patih Panjang Jiwa.[4]
Tumenggung Dinata pun berlayar kembali ke Jawa dan menyerahkan wewenang kepada kedua patih itu.[4] Selanjutnya Bangka sepenuhnya diatur oleh orang Bangka sendiri.[4] Kepatihan Jeruk dipengang oleh Patih Raksa Kuning dibantu Hulubalang Selangor.[4] Kepatihan Mendo dipengang Patih Ngincar, dan Depak dibawah patih Kembar, dibantu Layang Sedap, Mengandu, Mangirat, dan Sekapucik.[4]
Bangka dibawah Johor dan Minangkabau
Islamisasi
Kerajaan Johor dan Minangkabau memainkan peran penting dalam Islamisasi di Bangka, khususnya ketika berkuasa di Bangka.[4] Tuan Syarah (dari Johor) menjadi raja Bangka Kota dan menyebarkan ajaran agama Islam.[4] Sedangkan Alam Harimau Garang (dari Minangkabau) menjadi raja dikota Beringin dimana ia mengembangkan tata tertib bermasyarakat sesuai ajaran Islam.[4] Sejak berlangsungnya penguasaan Johor dan Minangkabau maka terjadilah percampuran antara adat Jawa dan Melayu.[4] Secara keseluruhan, kepemimpinan pulau Bangka berada dibawah kesultanan Johor.[4] Tuan Syarah memimpin Bangka dengan sukses.[4] Ia membawa kebahagian dan kemakmuran bagi penduduknya.[4] Ketika Tuan Syarah wafat, ia dimakamkan di Bangka Kota.[4] Makamnya disebut sebagai Keramat Tuan Syarah.[4]
Sepeninggalan Tuan Syarah, Raja Alam Harimau Garang menempati Kota Waringin didampingi Patih Raksa Kuning dan Hulubalang Selangor.[4] Maka Pulau Bangka kemudian berada dibawah Minangkabau.[4] Pada masa pemerintahan Minangkabau, gunung Maras meletus, menghamburkan bebatuan dan tanah, dan membinasakan perkampungan dan penghuninya.[4] Ketika Raja Alam wafat, ia dimakamkan di Kota waringin yang disebut Makam Keramat Garang.[4]
Bangka dibawah Kesultanan Banten
Datang sekelompok orang dengan sebuah kapal dari Banten berlabuh di Bangka Selatan dengan keperluan melengkapi perbekalan pelayaran.[4] Mereka bertemu dengan penduduk Bangka didekat kampung Sukal dan mendengan cerita riwayat pulau Bangka dari penduduk setempat.[4] Ketika mereka tiba kembali di Banten, pengalaman awak kapal terdengar oleh sultan Banten.[4] Setelah mempelajari cerita mereka, sultan Banten paham bahwa Bangka pernah berada dibawah kerajaan Majapahit dan Mataram dimasa lalu.[4] Sultan kemudian mengirim utusan ke Bangka untuk lebih lanjut.[4] Mereka adalah Pangeran Panembahan Serpu dan seorang bupati bernama Nusantara.[4] Setelah tiba di Bangka, masyarakat memberi jalan kepada Bupati Nusantara dan sultan untuk memerintah di pulau Bangka.[4] Bupati Nusantara menjadi pemimpin di Bangka dan berjanji kepada masyarakat untuk memilih orang Bangka sebagai patih dan batin.[4]
- 1 orang patih di Punggur distrik (Mentok) dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Jebus dibantu 3 batin.[4]
- 1 orang patih di Panji dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Jeruk dibantu 9 batin.[4]
- 1 orang patih di Mendo dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Balar dibantu 5 batin.[4]
- 1 orang patih di Pakuk dibantu 5 batin.[4]
Piagam sebagai tanda pemberian kekuasaan diberikan kepada para patih tersebut kecuali patih yang berasal dari Jeruk, Punggur dan Mendo. Mereka memakai piagam yang pernah didapatkan dari patih Gajah Mada.[4] Bupati Nusantara kemudian menetapkan batas-batas wilayah kekuasaan tiap patih.[4] Bupati Nusantara memerintah Bangka dengan gelar “Raja Muda”.[4]
Bangka dibawah Kerajaan Palembang
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan oleh karena putrinya telah dikawinkan dengan sultan Palembang yaitu Abdurahman (1659-1701), maka dengan sendirinya pulau Bangka dan sekitarnya menjadi bagian dari kesultanan Palembang.[2] Sultan Abdurahman wafat pada tahun 1707 dan diganti oleh putranya Ratu Muhamad Mansur (1797-1715).[2] Ratu Anom Komaruddin adik kandung Ratu Muhamad Mansur kemudian mengangkat dirinya sebagai sultan Palembang, mengantikan abangnya (1715-1724).[2] Walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara formal sudah diangkat juga rakyat menjadi Sultan Palembang.[2] Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.[2]
Penemuan dan Ekspolitasi Timah
Orang-orang Johor dan Siantan-lah yang pertama mengali timah di pulau Bangka, karena pengalaman mereka yang sudah didapatkan di Semenanjung Malaka.[2] Dengan ditemukannya timah (sekitar tahun 1710) mulailah Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari seluruh Asia dan Eropa.[2] Perusahaan-perusahaan pengali timah pun sangat maju, sehingga sultan Palembang mengirim orang-orang ke Semenanjung dan negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli.[2] Pada tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anom Kamaruddin dari palembang untuk membeli timah secara monopoli.[2] Dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi:[3]
- Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni.[3]
- Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.[3]
V.O.C mulai melakukan kecurangan dan pelangaran janji yang menyebabkan ketegangan dan sikap permusuhan.[2] Pada tahun 1811 dalam masa pertukaran kekuasaan dari Belanda ke tangan Inggris Sultan Mahmud Badarudin mengadakan serangan terhadap kantor V.O.C yang berada di Palembang dan semua orang V.O.C mati terbunuh.[2] Hal ini mengakibatkan Inggris mengadakan pembalasan dan dan menangkap dan membunuh Sultan Badaruddin.[2] Sebagai gantinya diangkatlah putranya, Najamuddin yang kemudian dipaksa menyerahkan pulau Bangka Belitung kepada Inggris (1812).[2] Dengan itu berakhirlah kekuaasaan Kerajaan Palembang di Kepulauan Bangka Belitung.[2]
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Baharuddin(1774-1803), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia.[8] Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa, membuat produksi timah bertambah tinggi.[8] Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg.).[8] Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka.[8] Beberapa kota yang dibangun oleh koloni penambang timah, misalnya Mentok, SungaiLiat, dan Toboali.[8] Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang-penambang Tionghoa.[8] Setelah timah ditemukan pada abad ke-17, membuat Bangka mendapatkan kekayaan dan terkenal sebagai penghasil Timah terbesar di Indonesia.[5] Sekarang meski masih ditambang namun tidak sebanyak seperti dahulu.[5]
Sebelum Indonesia Merdeka
Perlawanan Depati Bahrin
Pada awal Oktober 1819, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Laemlin menyerang pasukan pertahanan Depati Bahrin di Bangka Kota.[4] Tetapi Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan hebat Depati Bahrin dan pasukannya.[4] Pasukan Kapten Laemlin pun mundur kearah Mentok.[4] Selama perjalanan mundur menuju Mentok dan melewati perkampungan, pasukan Leamlin tidak putus-putusnya diserang pengikut Bahrin.[4] Setelah peristiwa Bangka Kota, Depati Bahrin memindahkan pusat kekuatannya ke Kota Waringin dan Kampung Nyireh.[4] Kemudian terjadi hal yang sangat memalukan Belanda dalam catatan sejarahnya, yaitu Residen Smissaert tewas dalam satu sergapan yang merupakan gabungan pengikut Depati Bahrin dari Kampung Jeruk.[4] Belanda menaruh dendam pada Depati Bahrin atas kematian Smissaert dan kekalahan di tempat lain.[4] Oleh karena itu, Belanda menjanjikan hadiah sebesar 500 ringgit bagi mereka yang dapat membunuh Bahrin.[4]
Perlawanan Depati Amir
Pada tahun 1830 setelah Depati Bahrin Menyerah, Belanda mengangkat anak sulung Bahrin yang bernama Depati Amir sebagai pengganti.[4] Upaya ini adalah strategi Belanda untuk memikat hati rakyat Bangka.[4] Depati Amir membawahi daerah Mendara dan Mentadai (Merawang).[4] Tetapi sejak awal Amir menunjukan tidak mau diperintah Belanda.[4] Hal lain yang menambah kerisauan Belanda adalah Depati Amir ternyata mahir menghimpun pengikut untuk membangun kekuatan.[4] Dalam laporan Belanda, dikatakan Amir menyusun kekuatan dengan menghimpun bajak laut, para pelarian penjahat dari pulau-pulau lain, dan preman-preman.[4] Sikap perlawanan yang ditunjukan Amir terhadap Belanda, diartikan rakyat sebagai sinyal untuk memberontak melawan Belanda.[4] Maka Amir dan pengikutnya masuk hutan dan melakukan perang gerilya.[4]
Indonesia Merdeka
API dibentuk
Sejak terdengarnya siaran berita Indonesia merdeka putra-putri Bangka segera membenah diri menyediakan tenaga nya untuk menghadapi segala kemungkinan.[2] Menurut surat dari Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohd. Hasan dari Bukit Tinggi, pulau Bangka dan Belitung masuk dibawah kekuasaan Gubernur Militer Sumatera Selatan.[2] Semua berkas anggota Syu Sangikai (DPR ala Jepang) dijadikan anggota Komite Nasional Indonesia (KNI).[2] Pimpinan pemerintah Bangka dipercaya kepada Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Syu Sangikai dengan jabatan Residen dan wakilnya adalah Saleh Amad sebagai Asisten Residen.[2] Para pemuka masyarakat dan bekas pemimpin Gyugun serta Heiho dengan semangat yang berapi-api pada awal bulan September 1945 membentuk suatu badan yang diberi nama “Angkatan Pemuda Indonesia” disingkat (API).[2] Mula-mula hanya beranggotan 50 orang.[2] Badan tersebut dicetus disuatu gedung yang terletak dijalan Jendral Sudirman (sekarang tempat kediaman Kuasa Unit Penambangan Timah Bangka)[2]
TKR dibentuk
Tanggal 29 Oktober 1945 datanglah utusan dari Palembang yang dipimpin oleh Mayor F. Manusama untuk membentuk “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) di Bangka.[2] Mayor F. Manusama, A. Kamil dan Munzir Talib membentuk satu Resimen TKR di Bangka dibagi dalam tiga Batalyon, yakni:[2]
- Batalyon I Pangkalpinang dibawah pimpinan Mayor H. Muhiddin dengan 3 kompi: Kompi Ismail Hasan, Kompi Darmomulyo dan Kompi Sukmadi.[2]
- Batalyon II Mentok dibawah pimpinan Mayor Saparudin dengan 3 kompi: Kompi Saman Idris, Kompi Tumbuan dan Kompi Admi Husin.[2]
- Batalyon III, persiapan untuk Belitung dibawah pimpinan Komandan Munzir.[2]
Bung Karno dan Hatta diasingkan.
Tanggal 6 Februari 1949 Presiden Soekarno dan Mentri Luar Negeri Haji Agus Salim atas desakan BFO diangkut oleh Belanda dari Prapat (Sumatera Utara) ke Bangka dan disatukan dengan Moh Hatta dalam kamp Menumbing.[2]
Daerah yang Kaya
Nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, Inggris, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten.[8] Dari catatan-catatan sejarah itu, diperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan sebuah pulau yang cukup kaya.[8] Dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah).[8] Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan.[8] Selain itu letaknya cukup strategis di lintas pelayaran antara Jawa, India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok.[8] Sebagai sebuah tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan peninggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya.[8]
Kondisi geografis
Letak Geografis
Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur Sumatera Selatan, berbatasan dengan Laut China Selatan di sebelah utara, Pulau Belitung di timur dan Laut Jawa di sebelah selatan yaitu 1°20’-3°7 Lintang Selatan dan 105° – 107° Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180 km. Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak begitu berbeda dengan rawa di pulau Sumatera, sedangkan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah pantainya yang landai berpasir putih dengan dihiasi hamparan batu granit.
Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah ± 2.950,68 km², dengan jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 217.545 jiwa. Batas wilayah Kabupaten Bangka adalah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Laut Natuna
- Sebelah timur berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Gaspar
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka Tengah
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bangka Barat, Selat Bangka dan Teluk Kelabat
Iklim dan Cuaca[sunting | sunting sumber]
Iklim Pulau Bangka adalah tropis Type A dan musim hujan terjadi pada bulan Juni – Desember. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun = 220 hari atau 343,7 mm perbulan. Suhu udara rata-rata 26 °C – 28,1 °C dengan kelembaban udara sekitar 76-88.
Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di Kabupaten Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107,6 hingga 343,7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun 1999 variasi curah hujan menjadi antara 70,10 hingga 384,50 mm per bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai April. Musim penghujan dan kemarau di Kabupaten Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu muson barat dan muson tenggara. Angin muson barat yang basah pada bulan Nopember, Desember dan Januari banyak memengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan, angin muson tenggara yang datang dari laut Jawa mempengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Jumlah curah hujan, hari hujan, arah angin dan kecepatan angin rata-rata setiap bulannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Demografi
Kependudukan
Hingga tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka berjumlah 217.545 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan perempuan 110.337 jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2. Konsentrasi penduduk terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat (379,13 jiwa/km2) yang juga merupakan ibukota Kabupaten Bangka sedangkan yang terendah di Kecamatan Bakam (30,81 jiwa/km2).
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan di Kabupaten Bangka Tahun 2003
Kecamatan | LuasDaerah(km²) | Laki-laki(jiwa) | Perempuan (jiwa) | Jumlah (jiwa) | Kepadatan (jiwa/km²) |
---|---|---|---|---|---|
Sungailiat | 146,38 | 28.780 | 26.710 | 55.490 | 379,13 |
Bakam | 488,10 | 7.117 | 7.921 | 15.038 | 30,81 |
Pemali | 127,87 | 8.520 | 8.637 | 17.157 | 134,18 |
Merawang | 164,40 | 12.017 | 12.967 | 24.984 | 151,97 |
PudingBesar | 383,29 | 6.811 | 6.506 | 13.317 | 34,74 |
MendoBarat | 570,46 | 14.575 | 18.958 | 33.533 | 58,78 |
Belinyu | 546,50 | 19.678 | 19.003 | 38.681 | 70,78 |
RiauSilip | 523,68 | 9.715 | 9.630 | 19.345 | 36,94 |
Jumlah | 2.950,68 | 107.213 | 110.332 | 217.545 | 74 |
Ekonomi
Sejak 1710, Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah penghasil timah terbesar di dunia. Proses produksi timah saat ini dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Sumber perekonomian masyarakat Pulau Bangka selain timah adalah dari sektor pertanian yaitu Lada/ merica, karet, dan kelapa sawit juga dihasilkan di pulau Bangka Dan juga dari sektor laut yaitu ikan dan hasil laut lainnya yang banyak terdapat di laut bangka.
Sejarah
Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang, karena runtuhnya kekuasaan Kesultanan Palembang kemudian wilayah Bangka diserahkan ke tangan Inggris pada 1812. Pada tahun 1814, oleh pemerintah Inggris pulau Bangka dibarter dengan Cochin di India yang tadinya milik Belanda. Pada masa perang dunia ke-2 pemerintah Jepang yang menjadi pemenang pada saat itu menguasai pulau Bangka dari tahun 1942 hingga 1945. Setelah Jepang pada tahun 1945 menyerah tanpa syarat pada Sekutu seperti halnya hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan, maka pulau Bangka setelah proklamasi kemerdekaan menjadi bagian dari Indonesia pada 1949. Pulau Bangka bersama dengan pulau Belitung pada awalnya merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan hingga tahun 2000 setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia dan terjadi pergolakan pada tahun 1998 yang berujung jatuhnya kekuasaan rezim Suharto, atas desakan masyarakat di pulau Bangka dan Belitung kemudian pada tahun 2000 pulau Bangka dan pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah provinsi dan melepaskan diri dari Sumatera Selatan dan disahkan menjadi sebuah provinsi bernama Kepulauan Bangka Belitung.
Sriwijaya
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka semasa di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7 dan pulau Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Selain sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya, Pulau Bangka juga pernah menjadi wilayah kekuasaan beberapa kerajaan besar dari pulau Jawa seperti kerajaan Majapahit ketika itu dibawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan pendampingnya mahapatih Gajah Mada dan kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.
Namun baik pada masa kerajaan Sriwijawa maupun kerajaan Majapahit atau pun Mataram pulau Bangka kurang mendapatkan perhatian, meskipun letaknya yang sangat strategis di tengah-tengah jalur pelayaran lalu lintas perdagangan internasional. Baru setelah perdagangan dari daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia pulau Bangka mulai menjadi perhatian, setelah ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian terhadap pulau Bangka dan Belitung menyebabkan banyaknya bajak laut yang menjadikan pulau Bangka dan Belitung dijadikan sebagai tempat persembunyian Bajak laut yang berdampak pada penderitaan bagi penduduknya.
Kesultanan Johor
Untuk mengatasi kekacauan dan keamanan pelayaran di sekitar selat Malaka, maka Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang mengerahkan pasukan ke pulau ini. Setelah misi pembebasan pulau Bangka dan Pulau Belitung berhasil dengan baik, Sultan Johor dan sekutunya juga mengembangkan agama Islam di tempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Kesultanan Banten
Karena merasa turut dirugikan dengan tidak amannya pelayaran di sekitar perairan Malaka terutama di sekitar Pulau Bangka dan Belitung, apalagi setelah dirampasnya kapal-kapal dari pedagang-pedagang dari Banten maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut yang beroperasi di sekitar kedua pulau tersebut. Setelah kedua pulau tersebut berhasil dikuasai kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat di sana.
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, yaitu Sultan Abdurrahman maka dengan sendirinya pulau Bangka dan Belitung kembali menjadi kekuasaan kesultanan Palembang dari tahun(1659–1707).
Kesultanan Palembang
Pada tahun 1707 Sultan Abdurrahman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707–1715).
Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715–1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara resmi sudah diangkat menjadi Sultan Palembang.
Tetapi pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang dari Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.
Penemuan timah dan VOC
Sekitar tahun 1709 ditemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang Johor atas pengalaman mereka di Semenanjung Malaka. Dengan ditemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusaha membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Jajahan Inggris
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, di mana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah takluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffles merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik “Divide et Impera”nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “Duke of Island” (20 Mei 1812).
Kembali menjadi jajahan Belanda
Kemudian atas dasar Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya pada tahun 1803 sebelum Napoleon menyerbu Belanda di Eropa, termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Inggris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda, yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung terutama masyarakat kampung cit di Riausilip.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian untuk mengusir Belanda dari daerahnya, di bawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Batin Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Mahmud Badaruddin ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari Abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Tiongkok bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (disingkat Babel) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001. Setelah dilantiknya Pj. Gubernur yakni H. Amur Muchasim, SH (mantan Sekjen Depdagri) yang menandai dimulainya aktivitas roda pemerintahan provinsi.
Selat Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November 2000 yang terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang. Pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tanggal 23 Januari 2003 dilakukan pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Belitung Timur. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan pemekaran wilayah dari Provinsi Sumatera Selatan
PULAU BANGKA DALAM SEJARAH
Pulau Bangka adalah pulau besar yang di kelilingi oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa pulau Bangka adalah pulau yang bernilai historisitas tinggi.
Sebagai bagian dari sejarah yang besar, runtutan peristiwa yang pernah terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak saja perdebatan berkaitan dengan sejarah asal mula secara geografis, tetapi juga interaksi masyarakat didalamnya yang diperdebatkan oleh para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya.
Salah satunya adalah sejarah tentang asala usul Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah berupa prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 Masehi memulai perdebatan tersebut secara ilmiah. Prasasti yang ditemukan di sungai menduk ( daerah Bangka Barat ) tersebut berisikan 240 kata berbahasa sansekerta ( Achmad Sahabuddin, dkk 2003 dalam buku Kepulauan Bangka Belitung ) yang berisi tentang peringatan kepada Masyarakat diwilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan Sriwijaya pada masa itu sehingga diperkirakan bahwa pulau Bangka pada masa itu telah menjadi pusat aktivitas yang ramai.
Dalam Prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak di sebutkan kata Bangka. Namun para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sansekerta yang digunakan pada prasasti Kota Kapur dengan kata Vanca yang juga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Timah ( pendapat Ibid ). Dengan melihat kandungan timah yang ada dipulau ini, maka penggunaan kata vanca yang kemudian mengalami perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.
Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai ( Pendapat Mary F. Somers Heidhues 1992 dalam helbig ) yang menunjukkan bahwa Pulau Bangka adalah pulau tempat pembuangan bangkai pada masa penjajahan. Meski demikian, asal usul kata ini tidak memiliki bukti ilmiah sehingga analisis versi kota kapur diatas lebih bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan.
Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang disebut Banca adalah pulau yang dulunya bernama Chinapata atau China-Batto (Chinapata diduga adalah daerah yang dulu pernah dilaporkan oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghensvan Linschoteen pada tahun 1595 di Amsterdam ). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang dan meluas ke arah Barat yag kemudian disebut Bangka hulu dan kemudian berubah dialeg menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah Sumatra Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang berhadapan dengan Bagan siapi api (ditulis oleh Sutedjo Sujitno dalam Sejarah Timah Indonesia, 1996 ). Meski demikian, keyakinan banyak orang tentang kemungkinan ini tidak nampak terlalu besar sehingga belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.
Dalam cerita asal usul pulau bangka ini, saya juga mengambil beberapa referensi, yaitu Bangka pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, kesultanan Palembang, Pulau Bangka dan Penjajah, serta Awal penambangan timah.
- MASA KERAJAN SRIWIJAYA
Pada masa kerajaan Sriwijaya, pulau Bangka adalah salah satu jalur yang digunakan pada masa tersebut sebagai jalur pelayaran mereka dalam hal basis kekuatan. Kerajaan Sriijaya sendiri tumbuh dan berkembang sekitar tahun 392 Masehi, sebagai kerajaan Maritim yang menganut Agama Budha, tentunya dibawah kekuasaan Syailendra
- MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Pada Masa Kerajaan Majapahit tahun 1293, Pulau Bangka sempat dijadikan sebagai basis pertahanan dengan maksud memantau tingkat kekuasaan Sriwijaya yang semakin melemah pada saat itu. Dibawah pimpinan Hayam wuruk, yang kala itu kekuasannya mencakup hampir seluruh kepulauan nusantara, memanfaatkan Bangka sebagai pusat pemantauan kekuatan terhadap Sriwijaya, namun pada masa Sriwijaya dan Majapahit, potensi sumber daya alam tidak terlalu di expose, karena kemungkinan besar, pada masa dua kerajaan itu tidak mengetahui tentang besarnya potensi sumber daya alam yang ada di Pulau Bangka, sehingga kemudian ditinggalkan dan menjadi sarang perompak yang ganas. Diperkirakan sekitar abad XV. Berdasarkan pendapat Ibid, pada awal 1600-an, terdapat pasukan yang datang dari minangkabau, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Johor, merubah kondisi Pulau Bangka, terutama dalam bidang keamanan dan keagamaan. Walaupun, pada awalnya, pasukan Panglima perang tuan sarah dan raja alam Harimau Garang hanya bermaksud menumpas para perompak yang mendiami pulau Bangka pada waktu itu, namun lama kelamaan mereka mengembangkan Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa Islam mulai masuk ke pulau Bangka pada awal 1600-an.
- MASA KESULTANAN PALEMBANG
Hampir bersamaan dengan masuknya Belanda ke Indonesia pada awal tahun 1600-an, Pulau Bangka mulai dikuasai oleh Kerajaan Banten dengan mengangkat Bupati Nusantara untuk memerintah Bangka dengan pusat kekuasaaan di Bangka Kota. Sultan Abdurrachman yang memerintah Kesultanan Palembang ( 1662-1706 ) pada masa itu meminang Puteri Bupati Nusantara di Bangka Kota dan ketika Bupati nusantara wafat kemudian kekuasaan tersebut beralih ke kekuasaan Kesultanan Palembang. Sepeninggal Sultan Abdurrachman, keturunan Sultan pecah dalam perselisihan dan mengakibatkan putera Sultan yang bernama Ratu Muhammmad Badaruddin meninggalkan Palembang ( Pendapat Ibid ). Tahun 1735, Kesultanan Palembang mengadakan perjanjian dengan penguasa Hindia Belanda tentang penjualan timah. Isi perjanjian tersebut menyebutkan bahwa Belanda memonopoli perdagangan timah di Bangka. ( Fachir Haitami, dkk, 2000 )
- PULAU BANGKA DAN PENJAJAH
Belanda pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu Belanda baru melirik Pulau Bangka sebagai salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika itu daerah ini masuk pada kekuasaan Kesultanan Palembang ( Pendapat Ibid ). Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa antara Kesultanan Palembang dengan Hindia Belanda telah mengadakan perjanjian tentang pengolahan hasil alam di Pulau Bangka, dan hasilnya adalah Belanda memonopoli Timah dan sebagai gantinya, Belanda akan melindungi Kesultanan Palembang. Sebuah catatan kontrak ini diadakan pada tanggal 10 juli 1668, sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka Belitung dengan editor Achmad Sahabuddin, dkk ( 2003 ). Setelah tahun 1722, hubungan antara Kesultanan Palembang dengan pihak Belanda memburuk dan situasi ini dimanfaatkan oleh Inggris dan Prancis mengalahkan Belanda. Pada waktu itu, pihak Inggris dan Prancis masing-masing dipimpin oleh Lord Minto dan Thomas stanford Raffles, sementara Kesultanan Palembang ditinggal wafat oleh Sultan Mahmud Badaruddin yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Mahmud Badaruddin II. Masuknya Inggris mendapat perlawanan keras dari Kesultanan Palembang, dan pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Inggris. Dan dengan terpaksa, Kesultanan Palembang kemudian mengeluarkan pernyataan yang intinya menyerahkan kekuasaan atas Pulau Bangka dan Belitung kepada Inggris. Inggris memulai penguasaan terhadap Timah pada tahun 1812-1816, yang pada saat itu sempat mengganti nama Bangka dengan The Duke Of York dengan ibukota Mentok yang diganti dengan nama Minto. Nama Minto sendiri diambil dari Nama Lord Minto. Namun, pada tahun 1814, terjadi penandatanganan Traktat London yang mengakibatkan Inggris harus menyerahkan atau mengembalikan daerah yang telah direbut dari Belanda sebelumnya, yaitu teptnya pada tanggal 17 april 1827.
- AWAL PENAMBANGAN TIMAH
Penemuan timah pertama kali di Pulau Bangka memiliki beberapa versi, diantaranya adalah sebagai berikut :
- Versi tahun 1707
Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang untuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran. ( Pendapat Ibid )
- Versi tahun 1709
Orang yang di anggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang Johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang
III. Versi tahun 1711
Pada tahun ini juga disebutkan bahwa adanya kedatangan seorang Cina bernama Oen Asing ( Boen Asiong ) yang melakukan penambangan timah di Kampung Belo Mentok, orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah, memperkenalkan penambangan timah dengan penggunaan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah. ( pendapat Ibid ).
Legenda mengisahkan, ada sebuah kapal besar dihantam� amukan badai, akhirnya kandas. Badan kapal yang kandas ini kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka, sedangkan tiang-tiang kapal berubah menjadi gunungnya. Di kisahkan pula ada sebuah kapal penyelamatnya hanyut ke arah Timur kemudian kandas, selanjutnya berubah �menjadi Pulau Belitung.
Selama ini tidak sedikit diantara kita yang mengetahui sejarah pertama kalinya ditemukan timah di Pulau Bangka, oleh siapa, dan dijadikan apa timah itu. Begitu juga dengan daerah yang memiliki keindahan alam dan panoramanya yang bagus, juga tidak diketahui siapa yang menemukannya pertama kali. Apalagi tentang nama pulau sebagai daerah penghasil timah nomor satu di nusantara ini yang sekarang bernama Pulau Bangka.
Dalam Peta Tertua, disebutkan nama Banca untuk Pulau Bangka yang menurut datanya berasal dari peta Portugis pada pertengahan abad ke 17. Mengenai penamaan baru ini juga diikuti pemeta berkebangsaan Inggris, yang bernama Herman Moll dan terkenal dengan A Map of East Indies nya, dicetak untuk keperluan East India Company Tahun 1678 -1732. Sementara pekerjaan yang lebih rinci lagi dilakukan pemeta berkebangsaan Belanda hal ini dilakukannya dalam upaya merinci peta wilayah Indonesia� untuk kepentingan VOC oleh seorang bernama Franccois Valentyn yang terkenal dengan Eyland Sumatera diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1724.
Diceritakan dulu pulau ini pada abad ke 16 dinamakan Chinabara, Chinapata atau China Batto sekitar pertengahan abad ke 17 tiba-tiba mendapat nama baru dengan sebutan Banca atau Banka atau Bangka, menurut selentingan yang tercetus sampai saat ini tidak ada yang dapat menduga pergantian nama tersebut.
Konon dicerita pada awal abad 19 ada seorang guru yang mengajar di Inlandsche Scool Mentok bernama H. Idris beliau pernah menulis legenda tentang penamaan Bangka dalam bahasa Melayu kuno dan tulisan itu kemudian diterjemahkan oleh EC.Ade Clercg,dalam bukunya Bijdrage Tot de Geschiedenis Van Het Eiland Banka. �Penuturan dari legenda itu hingga sekarang masih hidup di masyarakat pulau ini, yang merupakan sumbangan bagi kepentingan sejarah Bangka.
Memang ada beberapa versi cerita dari legenda ini, meskipun berbeda, pada hakekatnya ada kemiripan antara satu dengan yang lain, menurut versi yang pernah penulis baca, ada legenda versi Panji, versi Mentok, versi Balar dan versi Paku.
Kalau menurut legenda versi Panji begini ceritanya, dari kepercayaan penduduk desa Panji di Belinyu dan orang Sekak menuturkan, ada seorang anak raja Bugis bernama Seri Gading diusir oleh orang tuanya bernama Raja Tumpu Awang, karena berbuat serong. Diisyaratkan padanya baru diperbolehkan kembali bila sudah mendapatkan seorang isteri yang baik. Alkisah menceritakan maka berlayarlah Seri Gading dengan kapal besar yang dilengkapi awak kapal bersenjata lengkap, mereka menuju ke Jawa dan sekitar wilayah Melayu.
Selama menetap di Johor, Seri Gading mendapatkan jodoh dan mempersunting seorang putri keturunan Cina, kemudian ternyata menjadi seorang isteri yang baik. Karena sudah memenuhi persyaratan yang dikehendaki orang tuanya bertolaklah Seri Gading kembali ke negeri asalnya. Malang tak dapat dicegah dalam pelayaran pulang kapalnya dihamuk badai dan terdampar di sebuah pulau yang bergunung tinggi.
Singkat cerita Seri Gading bersama sisa-sisa awak kapalnya menemukan sebuah pondok, dibawah serumpun bambu tak jauh dari halaman pondok itu diketemukan dua sosok mayat atau bangkai laki-laki dan perempuan. Pulau yang asing baginya itu kemudian dinamakannya Bangkai, lama-kelamaan berubah menjadi Bangka.
Ada penuturan lain dari versi ini, bahwa pulau asing tersebut dinamakan Bangka, berasal dari nama jenis kayu yang dipergunakan untuk membuat kapal tersebut, jenis kayu Bangka yang kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka.
Sementara itu kalau menurut legenda versi Mentok menceritakan, pada zaman dahulu kala ada sebuah kapal besar dari Negeri Johor yang ditumpangi beberapa penumpang laki-laki dan perempuan. Nakhoda kapal besar itu bernama Ragam atau Ranggam. Kapal itu mengalami amukan badai dan akhirnya kandas. Badan kapal yang kandas ini kemudian menjelma menjadi Pulau Bangka, sedangkan tiang-tiang kapal yang tinggi berubah menjadi gunungnya. Lebih lanjut diceritakan juga ada sebuah perahu penyelamatnya hanyut ke Timur, kemudian kandas berubah dan menjelma menjadi Pulau Belitung. Kalau legenda versi Balar, penduduk desa Balar wilayah Sungaiselan (sekarang ibu kota kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah) menuturkan , pulau ini berasal dari sebuah kayu besar dari jenis kayu Bangka yang hanyut dari Bugis.
Sedangkan legenda versi Paku, yang dituturkan penduduk Paku daerah Payung (sekarang ibu kota kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan), nama Bangka berasal dari kata Bangkai yakni bangkai dari seorang berbadan besar mirip raksasa yang terdampar di pulau ini.Legenda dari berbagai versi ini setidaknya dapat dijadikan sebuah cerita yang menarik bagi anak cucu, apalagi diceritakan kepada anak atau cucu menjelang tidur yang tentunya akan berkembang dengan sendirinya bila nanti ditanyakan kenapa dan mengapa bisa begitu dan begini.
Sepanjang yang pernah penulis ketahui dan baca, secara ilmiah dari sekian banyak� para pengamat dan penelti cenderung berpendapat nama Bangka berasal dari bahasa Sansekerta, Vanka yang berarti Timah secara keseluruhan baik itu Timah Hitam maupun Timah Putih. Dari sisi lain hal ini juga memperkuat dugaan kalau sebenarnya timah di Pulau Bangka telah diketemukan sejak masa lampau, ketika wilayah ini masih dibawah pengaruh Hindu atau di awal pemerintahan kerajaan Sriwijaya.
Seandainya memang nama Bangka itu berasal dari kata Bangkai, yang menurut ceritanya di pulau gersang ini kerap diketemukan bangkai dari para nelayan ataupun pelaut yang terdampar kemudian mati kelaparan. Atau dimungkin juga kata bangkai itu berasal dari banyaknya bangkai kapal besar yang kandas atau pecah menghantam karang yang banyak tersebar disekitar pulau ini, seperti yang dialami Seri Gading dan awak kapalnya, terserah anda menterjemahkan maknanya.
Asal Mula
Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7. pada masa Kerajaan Sriwijaya pula Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Demikian pula kerajaan Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka..
atas dasar Konversi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya ditahun 1803 termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda. Yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan ang sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya, dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Cina bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.
Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusa membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timaha dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
- Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
- Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah taklluknya menjadi jajahan Inggris.
Pulau Bangka dikenal dengan pulau penghasil timah Casseteriet (SNO2). Secara Geografis Pulau Bangka bersebelahan dengan Pulau Belitung di sisi Timurnya, Palembang di sisi Barat. Sedangkan Utara Berbatasan dengan Laut Cina Selatan (Laut Natuna), dan di sisi selatan berbatasan dengan Laut Jawa.
Banyak hal yang menarik yang bisa ditemui di Pulau bangka selain pertambangan timahnya yang dijadikan mata pencaharian sebagaian besar penduduk, disamping bertani. Pertambangan timah tersebar dari pesisir hingga kota.
Istilah “Tua Bangka” yang sering digunakan sebagai kalimat kiasan sehari-hari. Kata “bangka” dalam kiasan tersebut merajuk pada pulau bangka, yang diperkirakan pulau ini telah ada sejak jaman prasejarah, sekitar jaman tersier atau sekitar 65juta tahun yang lalu.
Awal mula dikenalnya pulau ini sebagai pulau Bangka memiliki beragam versi, dan beberapanya disebarkan melalui cerita-cerita rakyat Bangka dan sisanya di dapatkan berdasarkan penafsiran para arkeolog terhadap peninggalan purbakala yang terdapat di Pulau Bangka.
Cerita versi pertama mengisahkan bahwa asal mula nama “Pulau Bangka” berasal dari seringnya ditemukan kapal-kapal karam dan terdampat di pulau tersebut.
Ada juga yang mengatakan karena di hutan Pulau tersebut banyak ditumbuhi Kayu Bangka yang dipergunakan untuk pembuatan Kapal.
Cerita ketiga mengisahkan seorang raksasa yang mati dan bangkainya menjadi Pulau, maka dinamakanlah Pulau Bangka
Versi keempat penamaan pulau bangka sudah dikenal sejak abad ke 6-7 M, tertulis dalam sebuah prasasti yang berbentuk tugu yang ditemukan di kotakapur, sebelah barat pesisir pulau Bangka. Dalam prasasti itu terdapat kata Vanka yang di tulis dalam huruf palawa, dalam bahasa sansekerta Vanka berarti Timah, hal ini juga membuktikan bahwa pertambangan timah di Bangka sudah di kenal abad tersebut.
Namun berdasarkan catatan Belanda Timah baru ditemukan di pulau bangka pada tahun 1701[1] dan Pertambangan Timah mulai berlangsung pada awal abad ke-18. Penambang Timah merupakan orang-orang cina dari suku Hakka (Orang melayu menyebutnya Hokian), yang berasal dari provinsi Guan Dong, Tiongkok. Tapi sebelum kedatangan Belanda pulau ini sudah bdi kenal dengan nama “Bangka” dan orang-orang tionghoa[2] juga menyebut Bangka yang berarti timah
Disini terlihat ketimpangan waktu antar sumber sejarah yang dipakai dalam prasasti dan catatan Belanda. Jika kita mengacu pada sumber prasasti, Timah telah ditemukan di Pulau Bangka sejak sekitar abad ke 6-7 pada masa kerajaan Sriwijaya[3]. Dan melalui temuan arkeologis itu dimungkinkan bahwa penamaan Bangka sebagai nama pulau sudah dikenal. Dugaannya adalah jika dilihat dari mutasi bahasa kata Vanka berubah menjadi Wanka dan akhirnya menjadi Bangka. hal ini diperkuat dengan para penambang tionghoa yang juga menyebut timah sebagai “Bangka”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar